Selasa, 22 Mei 2018

Awal mula aku lesbi


Perawat lesbi
Nama saya istiqomah biasa dipanggil isti, umur saya 28 tahun. Saya seorang akhwat berjilbab dan memakai kaacamata. Saya lulusan dari Akademi Perawat di salah satu kota kecil di Jawa Tengah. Sekarang saya bekerja di Rumah Sakit Swasta di kota P. Saya sudah jadi karyawan tetap disini, tapi baru 3 bulan saya dipindahkan keruang perawatan anak. Saya tinggal di rumah sendirian bersama ayah. Sebagai orang baru di bangsal ini, saya banyak mendapat teman dan kenalan baru. Salah satunya adalah Kepala Bangsal perawatan anak, atasan saya langsung, dimana saya ditempatkan. Ibu Crhistiani kami memanggilnya umurnya hampir 40 tahun, akan tetapi sampai sekarang belum menikah juga sama sepertiku. Walaupun kalau saya lihat sebenarnya Kepala Bangsal saya ini wajahnya cantik, bentuk badannya sensual dan kulitnya putih bersih.

Saya mendengar selentingan kabar dari teman-teman di sini, kalau Ibu Crhistiani sebenarnya simpanan salah satu pejabat yang juga bekerja di kota ini. Sebagai Kepala Bangsal perawatan anak, Ibu Crhistiani sangat disegani karena selain secara fisik lebih besar dari rata-rata perawat, juga mulutnya sangat pedas, terutama untuk perawat-perawat yang lain. Yang lebih menarik pula, gelang dan cincin berlian di tangan, juga jam tangannya yang bertuliskan “Cartier”. Pantaslah kalau gosip itu benar, Ibu Crhistiani simpanan salah satu pejabat kaya yang juga bekerja di kota ini. Sebagai perawat, kami kadang bergiliran bertugas jaga, kebiasaannya di bangsal saya yang bergiliran jaga adalah perawat senior dan junior, tidak terkecuali saya dan Ibu Crhistiani.

Pada suatu hari, saya mendapat jadwal tugas jaga bersama Ibu Crhistiani. Sebenarnya saya sangat takut, karena selain saya masih baru, saya juga “ngeri” padanya. Ada yang membuat saya terkejut, ketika semua perawat teman-teman saya selesai bertugas jam 21.00, tinggal kami berdua sebagai perawat jaga hari itu.

“Dik isti”, Ibu Christiani memanggil sambil tersenyum.
“Iya, bu”, kaget saya.
Sebelum ini, tidak pernah sekalipun Ibu Christiani memanggil saya dan teman-teman yang lain dengan sebutan “Dik”, apalagi memanggilnya sambil tersenyum. Mimpi apa saya ini?
“Ini statusnya dilengkapi dan periksa ulang Suhu dan Tensi untuk kamar 9 dan 10″.
“Iya, Bu”, saya seperti kerbau dicocok hidung.

Segera saya lakukan perintahnya. Setelah selesai, menyusul perintah-perintah “manis” yang lain, saya hanya bisa menuruti. Walaupun saya iri juga padanya, karena Ibu Christiani hanya duduk manis di meja counter depan Bangsal perawatan anak sambil menonton TV.Akhirnya selesai juga perintah-perintah “Sang Ratu”, jam sudah menunjukkan jam 23.50. Pada saat ini biasanya perawat jaga saatnya untuk beristirahat tapi tetap siaga. Saya kelelahan, tapi inilah resikonya sebagai perawat. Saya masuk ke kamar jaga perawat, dan merebahkan diri untuk tidur-tiduran sebantar sambil beristirahat.
Tidak berapa lama kemudian Ibu Christiani masuk ke kamar juga, dia juga ikutan rebahan di tempat tidur yang lain. Sambil menyodorkan minuman Mulailah dia menginterogasiku. Akan tetapi tanpa sepengetahuan saya ternyata minuman itu sudah dicampur dengan obat penenang.

“Sudah punya pacar, dik?”.
“Dulu, Bu”. Iya dulu saya pernah punya pacar tapi sekarang saya memilih jomblo bahkan bisa dikatakan perawan tua sama seperti ibu Christiani.
“kenapa sekarang masih jomblo?”
Dengan malu-malu sayapun menjawab “mungkin karena saya trauma sering disakiti pria bu”
“Dulu waktu sekolah di Akper juga tinggal di asrama Akper?”.
“Iya”.
Ibu Chistiani tertawa, “Kenapa Bu, kok tertawa?”.
“Hayo, dulu waktu di asrama sering nonton BF bersama-sama, tho?”.
“enggak, kok ibu”.
“Aah masa, Saya dulu waktu masih sekolah juga sering”.

Setelah itu malahan Ibu Christiani cerita mengenai BF dengan detail dan cerita-cerita mengenai main kucing-kucingan memasukkan cowok ke asrama dan hal-hal porno lainnya, sambil tertawa-tawa. Walaupun geli di telinga mendengarnya, saya menanggapinya dengan malu-malu. Walaupun saya menjadi tidak jenak, akan tetapi entah kenapa ada perasaan senang juga mendengarkan cerita-cerita itu.
“Dik Wati, pernah “main” dengan pacarnya?”.
“astaga Belum, Bu”.
“Oh, nanti saya ajarin”.
“maaf, tidak perlu Bu terimakasih di dalam agama saya itu tidak diperbolehkan”.
“hemmm”. Wajahnya tampak sekali kecewa.

Tiba-tiba Saya merasakan lemas dan kantuk yang luar biasa, mungkin karena obat itu sudah mulai bekerja. Saya pun mulai memejamkan mata dan tidak ingat apalagi yang terjadi.

Lalu Saya terbangun karena sesuatu terasa aneh, setelah saya buka kedua mata saya betapa terkejutnya saya. Melihat sekeliling ternyata saya sudah didlam ruang kepala perawat. Saya duduk di kursi khusus pasien yang biasa digunakan untuk pemeriksaan vaagina dengan kondisi tangan terikat kebelakang dan kakipun terikat dengan kondisi menganga. Lebih terkejut lagi saya dalam keadaan setengah telanjang, dengan masih menggunakan jilbab kancing-kancing seragam saya sudah terbuka dan BH sudah dilepas. Sehingga terlihat jelas kulit saya yang putih mulus dan gundukan gunung kembar saya yang besarnya tak seberapa. Celana seragam saya dan CD saya ternyata sudah dilepas sehingga nampaklah vagina saya yang masih perawan dan hanya ditumbuhi sedikit rambut kemaluan. Ibu Christiani langsung masuk ke kamar membangunkan lamunan sesaat saya.

“Kenapa dik?”, sambil tersenyum.
“Eemmmpppphhhhh”. Saya tidak bisa berkata apa-apa karena mulut saya disumpal.
“sssttt jangan teriak nanti ketahuan, nanti kamu juga akan terbiasa” katanya sambil tersenyum menang.
“Wah, rambut yang bawah hanya sedikit yaa”, sambil tangannya menjulur mengelus liang surgaku. Saya terkesiap, ada perasaan aneh pada vagina saya ketika tangannya mengelus lembut vagina saya. Secara refleks pula saya menarik napas panjang dan menutup mata.
“Kenapa dik, nikmat?”.
Saya membuka mata dan tersipu malu.
“Oh.., belum pernah yaa”, Ibu Christiani tersenyum, sambil matanya menyempit memperhatikan saya. Saya juga hanya tersenyum sambil menggigit bibir. Saya ingin Ibu Winantu mengelus vagina saya lagi seperti tadi, kata saya dalam hati.

Saya merasa itu terjadi begitu cepat, tiba-tiba Ibu Christiani berjongkok di hadapan saya dan mulai menjilati vagina saya. Saya kaget dan keenakan, belum pernah saya merasa seperti ini. Saya tidak bisa dan entah kenapa saya juga tidak mau menolaknya, tubuh saya seperti ingin menikmatinya. Ibu Christiani sangat ahli menjilati vagina saya, dengan lembut dia membuka lebar paha saya dan membuka pelan-pelan bibir kemaluan luar saya. Saya merasakan sangat nikmat di bawah sana, di kemaluan saya, ketika lidah Ibu Christiani menjilat-jilat kemaluan bagian dalam saya, sungguh nikmat dan nikmat sekali, terutama ketika bibirnya yang basah menjilati klitoris saya. Saya menutup mata menikmatinya, payudara saya juga ikut mengeras. Saya menutup rapat-rapat bibir saya, sambil menggigit kencang bibir saya, nikmat sekali, nikmat sekali. Hanya napas saya makin lama makin berat, dan makin lama saya makin merasa kemaluan saya makin basah.

“Ooohh..”, saya mendesah agak keras, saya merasa melayang dan lupa segala dalam sesaat. Kemaluan saya bagian dalam terasa berdenyut-denyut berkepanjangan, tubuh saya serasa melayang dengan segala rasa yang pernah saya alami. Untuk pertama kalinya saya merasa mulai mengetahui kemaluan saya sendiri dan kenikmatannya yang luar biasa. (itu namanya orgasme, yaa).
“Sudah, dik?”, suara Ibu Christiani menyadarkanku.“Maaf, ya dik”.
Tubuh telanjang Ibu Christiani yang sudah kembali berdiri di hadapan saya sambil melepas ballbag yang menyumpal mulut saya. Entah kenapa saya merasa ingin dibelai, disayangi dan merasa nyaman dengan ibu Christiani.  Disamping tubuh saya yang mendadak lemas, setelah merasakan puncak kenikmatan tadi.
“Tidak apa-apa bu”, sambil tersenyum.
“Wajar saja, tidak usah khawatir”, Ia melanjutkan melepas ikatan-ikatan tali yang mengikat tangan dan kaki saya. Sambil dipeluknya tubuh saya yang juga telanjang. Dia raih kepala dan payudara saya, dan diciumnya bibir saya dengan lembut, lidahnya juga masuk ke dalam mulutku, menjilati lidah saya. Untuk pertama kalinya pula saya merasakan ciuman dari seorang wanita, apalagi wanita matang dan berpengalaman seperti Ibu Christiani. Ternyata lebih nikmat dan halus, dibanding ketika pertama kalinya saya merasakan ciuman dari seorang cowok.

“Ayo dik, lekas dipakai lagi seragamnya”.
“Besok giliran saya ya”, Ibu Christiani tersenyum penuh arti pada saya. Saya mengangguk pelan, dan ingin “waktu” itu segera datang.

Malam itu, setelah tugas-tugas sebagai perawat telah selesai, di kamar tidur perawat saya belajar “melayani” Ibu Winantu, ternyata indah sekali. Sungguh hari itu, malam yang tidak terlupakan. Sejak saat itulah pula, Ibu Christiani menjadi mentor saya. Saya selalu menunggu waktu-waktu tugas bersama, lagi dengan Ibu Christiani dan kencan-kencan kami lainnya di luar jam dinas Rumah Sakit, berbagi waktu dengan “suami” tidak resmi Ibu Christiani, seorang pejabat dikota ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar