Perawat lesbi
Nama saya
istiqomah biasa dipanggil isti, umur saya 28 tahun. Saya seorang akhwat
berjilbab dan memakai kaacamata. Saya lulusan dari Akademi Perawat di salah
satu kota kecil di Jawa Tengah. Sekarang saya bekerja di Rumah Sakit Swasta di
kota P. Saya sudah jadi karyawan tetap disini, tapi baru 3 bulan saya
dipindahkan keruang perawatan anak. Saya tinggal di rumah sendirian bersama
ayah. Sebagai orang baru di bangsal ini, saya banyak mendapat teman dan kenalan
baru. Salah satunya adalah Kepala Bangsal perawatan anak, atasan saya langsung,
dimana saya ditempatkan. Ibu Crhistiani kami memanggilnya umurnya hampir 40
tahun, akan tetapi sampai sekarang belum menikah juga sama sepertiku. Walaupun
kalau saya lihat sebenarnya Kepala Bangsal saya ini wajahnya cantik, bentuk
badannya sensual dan kulitnya putih bersih.
Saya
mendengar selentingan kabar dari teman-teman di sini, kalau Ibu Crhistiani
sebenarnya simpanan salah satu pejabat yang juga bekerja di kota ini. Sebagai
Kepala Bangsal perawatan anak, Ibu Crhistiani sangat disegani karena selain
secara fisik lebih besar dari rata-rata perawat, juga mulutnya sangat pedas,
terutama untuk perawat-perawat yang lain. Yang lebih menarik pula, gelang dan
cincin berlian di tangan, juga jam tangannya yang bertuliskan “Cartier”.
Pantaslah kalau gosip itu benar, Ibu Crhistiani simpanan salah satu pejabat
kaya yang juga bekerja di kota ini. Sebagai perawat, kami kadang bergiliran
bertugas jaga, kebiasaannya di bangsal saya yang bergiliran jaga adalah perawat
senior dan junior, tidak terkecuali saya dan Ibu Crhistiani.
Pada suatu
hari, saya mendapat jadwal tugas jaga bersama Ibu Crhistiani. Sebenarnya saya
sangat takut, karena selain saya masih baru, saya juga “ngeri” padanya. Ada
yang membuat saya terkejut, ketika semua perawat teman-teman saya selesai
bertugas jam 21.00, tinggal kami berdua sebagai perawat jaga hari itu.
“Dik isti”,
Ibu Christiani memanggil sambil tersenyum.
“Iya, bu”,
kaget saya.
Sebelum ini,
tidak pernah sekalipun Ibu Christiani memanggil saya dan teman-teman yang lain
dengan sebutan “Dik”, apalagi memanggilnya sambil tersenyum. Mimpi apa saya
ini?
“Ini
statusnya dilengkapi dan periksa ulang Suhu dan Tensi untuk kamar 9 dan 10″.
“Iya, Bu”,
saya seperti kerbau dicocok hidung.
Segera saya
lakukan perintahnya. Setelah selesai, menyusul perintah-perintah “manis” yang
lain, saya hanya bisa menuruti. Walaupun saya iri juga padanya, karena Ibu
Christiani hanya duduk manis di meja counter depan Bangsal perawatan anak
sambil menonton TV.Akhirnya selesai juga perintah-perintah “Sang Ratu”, jam
sudah menunjukkan jam 23.50. Pada saat ini biasanya perawat jaga saatnya untuk
beristirahat tapi tetap siaga. Saya kelelahan, tapi inilah resikonya sebagai
perawat. Saya masuk ke kamar jaga perawat, dan merebahkan diri untuk
tidur-tiduran sebantar sambil beristirahat.
Tidak berapa
lama kemudian Ibu Christiani masuk ke kamar juga, dia juga ikutan rebahan di
tempat tidur yang lain. Sambil menyodorkan minuman Mulailah dia
menginterogasiku. Akan tetapi tanpa sepengetahuan saya ternyata minuman itu
sudah dicampur dengan obat penenang.
“Sudah punya
pacar, dik?”.
“Dulu, Bu”.
Iya dulu saya pernah punya pacar tapi sekarang saya memilih jomblo bahkan bisa
dikatakan perawan tua sama seperti ibu Christiani.
“kenapa
sekarang masih jomblo?”
Dengan
malu-malu sayapun menjawab “mungkin karena saya trauma sering disakiti pria bu”
“Dulu waktu
sekolah di Akper juga tinggal di asrama Akper?”.
“Iya”.
Ibu
Chistiani tertawa, “Kenapa Bu, kok tertawa?”.
“Hayo, dulu
waktu di asrama sering nonton BF bersama-sama, tho?”.
“enggak, kok
ibu”.
“Aah masa, Saya
dulu waktu masih sekolah juga sering”.
Setelah itu
malahan Ibu Christiani cerita mengenai BF dengan detail dan cerita-cerita
mengenai main kucing-kucingan memasukkan cowok ke asrama dan hal-hal porno
lainnya, sambil tertawa-tawa. Walaupun geli di telinga mendengarnya, saya
menanggapinya dengan malu-malu. Walaupun saya menjadi tidak jenak, akan tetapi
entah kenapa ada perasaan senang juga mendengarkan cerita-cerita itu.
“Dik Wati,
pernah “main” dengan pacarnya?”.
“astaga Belum,
Bu”.
“Oh, nanti
saya ajarin”.
“maaf, tidak
perlu Bu terimakasih di dalam agama saya itu tidak diperbolehkan”.
“hemmm”.
Wajahnya tampak sekali kecewa.
Tiba-tiba Saya
merasakan lemas dan kantuk yang luar biasa, mungkin karena obat itu sudah mulai
bekerja. Saya pun mulai memejamkan mata dan tidak ingat apalagi yang terjadi.
Lalu Saya
terbangun karena sesuatu terasa aneh, setelah saya buka kedua mata saya betapa
terkejutnya saya. Melihat sekeliling ternyata saya sudah didlam ruang kepala
perawat. Saya duduk di kursi khusus pasien yang biasa digunakan untuk
pemeriksaan vaagina dengan kondisi tangan terikat kebelakang dan kakipun
terikat dengan kondisi menganga. Lebih terkejut lagi saya dalam keadaan
setengah telanjang, dengan masih menggunakan jilbab kancing-kancing seragam
saya sudah terbuka dan BH sudah dilepas. Sehingga terlihat jelas kulit saya
yang putih mulus dan gundukan gunung kembar saya yang besarnya tak seberapa. Celana
seragam saya dan CD saya ternyata sudah dilepas sehingga nampaklah vagina saya
yang masih perawan dan hanya ditumbuhi sedikit rambut kemaluan. Ibu Christiani
langsung masuk ke kamar membangunkan lamunan sesaat saya.
“Kenapa
dik?”, sambil tersenyum.
“Eemmmpppphhhhh”.
Saya tidak bisa berkata apa-apa karena mulut saya disumpal.
“sssttt
jangan teriak nanti ketahuan, nanti kamu juga akan terbiasa” katanya sambil tersenyum
menang.
“Wah, rambut
yang bawah hanya sedikit yaa”, sambil tangannya menjulur mengelus liang
surgaku. Saya terkesiap, ada perasaan aneh pada vagina saya ketika tangannya
mengelus lembut vagina saya. Secara refleks pula saya menarik napas panjang dan
menutup mata.
“Kenapa dik,
nikmat?”.
Saya membuka
mata dan tersipu malu.
“Oh.., belum
pernah yaa”, Ibu Christiani tersenyum, sambil matanya menyempit memperhatikan
saya. Saya juga hanya tersenyum sambil menggigit bibir. Saya ingin Ibu Winantu
mengelus vagina saya lagi seperti tadi, kata saya dalam hati.
Saya merasa
itu terjadi begitu cepat, tiba-tiba Ibu Christiani berjongkok di hadapan saya
dan mulai menjilati vagina saya. Saya kaget dan keenakan, belum pernah saya
merasa seperti ini. Saya tidak bisa dan entah kenapa saya juga tidak mau
menolaknya, tubuh saya seperti ingin menikmatinya. Ibu Christiani sangat ahli
menjilati vagina saya, dengan lembut dia membuka lebar paha saya dan membuka
pelan-pelan bibir kemaluan luar saya. Saya merasakan sangat nikmat di bawah
sana, di kemaluan saya, ketika lidah Ibu Christiani menjilat-jilat kemaluan
bagian dalam saya, sungguh nikmat dan nikmat sekali, terutama ketika bibirnya
yang basah menjilati klitoris saya. Saya menutup mata menikmatinya, payudara saya
juga ikut mengeras. Saya menutup rapat-rapat bibir saya, sambil menggigit
kencang bibir saya, nikmat sekali, nikmat sekali. Hanya napas saya makin lama
makin berat, dan makin lama saya makin merasa kemaluan saya makin basah.
“Ooohh..”,
saya mendesah agak keras, saya merasa melayang dan lupa segala dalam sesaat.
Kemaluan saya bagian dalam terasa berdenyut-denyut berkepanjangan, tubuh saya
serasa melayang dengan segala rasa yang pernah saya alami. Untuk pertama
kalinya saya merasa mulai mengetahui kemaluan saya sendiri dan kenikmatannya
yang luar biasa. (itu namanya orgasme, yaa).
“Sudah,
dik?”, suara Ibu Christiani menyadarkanku.“Maaf, ya dik”.
Tubuh
telanjang Ibu Christiani yang sudah kembali berdiri di hadapan saya sambil
melepas ballbag yang menyumpal mulut saya. Entah kenapa saya merasa ingin
dibelai, disayangi dan merasa nyaman dengan ibu Christiani. Disamping tubuh saya yang mendadak lemas,
setelah merasakan puncak kenikmatan tadi.
“Tidak
apa-apa bu”, sambil tersenyum.
“Wajar saja,
tidak usah khawatir”, Ia melanjutkan melepas ikatan-ikatan tali yang mengikat
tangan dan kaki saya. Sambil dipeluknya tubuh saya yang juga telanjang. Dia
raih kepala dan payudara saya, dan diciumnya bibir saya dengan lembut, lidahnya
juga masuk ke dalam mulutku, menjilati lidah saya. Untuk pertama kalinya pula
saya merasakan ciuman dari seorang wanita, apalagi wanita matang dan berpengalaman
seperti Ibu Christiani. Ternyata lebih nikmat dan halus, dibanding ketika
pertama kalinya saya merasakan ciuman dari seorang cowok.
“Ayo dik,
lekas dipakai lagi seragamnya”.
“Besok
giliran saya ya”, Ibu Christiani tersenyum penuh arti pada saya. Saya
mengangguk pelan, dan ingin “waktu” itu segera datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar